Menjadi Guru Profesional



Guru merupakan salah satu faktor terpenting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di tangan gurulah seseorang akan mengetahui segala sesuatu yang belum diketahuinya. Dalam hal ini salah satu langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki kualitas tenaga pendidiknya terlebih dahulu. Oleh karena itu untuk menjadi seorang guru yang profesional yang nantinya akan meningkatkan kualitas pendidikan nasional seorang guru harus mempunyai kompetensi-kompetensi yang menunjangnya. Artikel ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana menjadi guru profesional melalui pengembangan kompetensi-kompetensi misalnya, kompetensi pedagogik, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Pengertian Guru Profesional

Menurut Kunandar (2007), guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi ini meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun akademis (Arfandi & Samsudin, 2021). Menurut Moh. Uzer Usman (2010), pengertian guru profesional adalah sebuah pekerjaan yang bersifat profesional yang mana di dalamnya memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus ditekuni dan dipelajari kemudian ilmu itu bisa diaplikasikan. Selain itu guru yang profesional harus mempunyai kompetensi khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan memiliki kemampuan yang maksimal (Arfandi & Samsudin, 2021). Dari beberapa pengertian tentang guru profesional yang dijelaskan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa guru yang profesional adalah seorang guru yang memiliki kompetensi dan kualifikasi baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar dalam kegiatan belajar mengajar dengan mempunyai kemampuan di dalam perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan mengevaluasi hasil belajar siswa.


Kompetensi Guru Profesional

Sebagai pekerjaan yang profesional guru wajib memiliki kualifikasi kompetensi dan sertifikasi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru sebagaimana tertuang dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada bab 4 bagian ke satu pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Firdaus & Barnawi dalam Sidiq, 2018).

1. Kompetensi Pedagogik

Sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 10 ayat (1), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki (Ibid dalam Sidiq, 2018).

Kemampuan merencanakan pembelajaran dilihat dari beberapa indikator, yaitu: a) perumusan tujuan pembelajaran, b) pemilihan dan pengorganisasian materi ajar, c) pemilihan sumber belajar atau media pembelajaran, d) metode pembelajaran, e) rencana penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, f) rencana penilaian yang sesuai dilengkapi dengan instrumen penilaian. Sedangkan kemampuan melaksanakan pembelajaran dilihat dari beberapa indikator, yaitu: a) kegiatan pembelajaran, b) membuka pelajaran, c) kegiatan inti pembelajaran, dan d) penutup. Kegiatan inti pembelajaran dilihat lagi yaitu: penguasaan materi pelajaran, pendekatan atau strategi pembelajaran, pemanfaatan sumber belajar, pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa, penilaian proses belajar, dan penggunaan bahasa (Ibid dalam Sidiq, 2018).

Oleh karena itu, guru diharapkan dapat memandu peserta didik yang percepatan belajarnya terbelakang sehingga pada akhir pembelajaran akan memiliki kesetaraan. Pada dasarnya, proses pembelajaran menyangkut kemampuan guru untuk membantu mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik.

2. Kompetensi Kepribadian

Sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada Pasal 10 ayat (1), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat 3 butir b). Dengan demikian, maka guru harus memiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik. Guru harus mampu menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik. Guru harus mampu menjadi tri-pusat, seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantoro, “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Di depan memberikan teladan, di tengah memberikan karsa, dan di belakang memberikan dorongan atau motivasi (Priansa dalam Sidiq, 2018). Guru sebagai pendidik harus dapat mempengaruhi ke arah proses itu sesuai dengan tata nilai yang dianggap baik dan berlaku dalam masyarakat. Tata nilai termasuk norma, etika, moral estestika, dan ilmu pengetahuan, mempengaruhi perilaku etika peserta didik sebagai pribadi dan anggota masyarakat (Ibid dalam Sidiq, 2018).

Indikator yang mencerminkan kepribadian positif seorang guru antara lain: supel, sabar, disiplin, jujur, rendah hati, berwibawa, santun, empati, ikhlas, berakhlak mulia, dan bertindak sesuai norma sosial & hukum. Kompetensi ini menentukan bagaimana seorang guru dapat menjadi teladan yang baik bagi siswa dan juga orang-orang yang ada di sekitarnya (Oktifa, 2022).

3. Kompetensi Sosial

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga pendidik, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat 3 butir d). Hamzah B. Uno menyatakan bahwa kompetensi sosial dimaknai sebagai kemampuan guru dalam berinteraksi sosial, baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, maupun dengan masyarakat luas (Ibid dalam Sidiq, 2018). 

Guru di mata masyarakat dan peserta didik merupakan panutan yang perlu dicontoh dan merupakan suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Guru perlu memiliki kompetensi sosial dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan proses pembelajaran. Melalui kemampuan tersebut, maka hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan harmonis sehingga hubungan saling menguntungkan antara sekolah dan masyarakat dapat sejalan sinergis. Empat indikator yang dapat menunjukkan kompetensi sosial guru adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan bersikap inklusif, objektif, dan tidak melakukan diskriminasi terkait latar belakang seseorang, baik itu berkaitan dengan kondisi fisik, status sosial, jenis kelamin, ras, latar belakang keluarga, dan lain sebagainya.

b. Kemampuan dalam berkomunikasi dengan efektif, menggunakan bahasa yang santun dan penuh empati.

c. Kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.

d. Kemampuan dalam beradaptasi dan menjalankan tugas sebagai guru di berbagai lingkungan dengan bermacam-macam ciri sosial budaya masing-masing.

4. Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional adalah kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan terintegrasikannya konten pembelajaran dengan penggunaan TIK (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat 3 butir c). Dengan demikian, guru harus memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi yang akan diajarkan serta penguasaan didaktik metodik dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritik, mampu memilih model, strategi, dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran. Guru pun harus memiliki pengetahuan luas tentang kurikulum serta landasan pendidikan (Uno dalam Sidiq, 2018). Contoh kompetensi profesional ditunjukkan oleh  indikator berikut ini (Oktifa, 2022):

a. Penguasaan terhadap  materi pelajaran yang diampu.

b. Penguasaan terhadap Standar Kompetensi (SK) pelajaran, Kompetensi Dasar (KD) pelajaran, dan tujuan pembelajaran dari suatu pelajaran yang diampu.

c. Kemampuan dalam mengembangkan materi pelajaran dengan kreatif sehingga bisa memberi pengetahuan dengan lebih luas dan mendalam bagi peserta didik.

d. Kemampuan untuk bertindak reflektif demi mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan.

e. Kemampuan dalam memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam proses pembelajaran dan juga pengembangan diri.


Cara Menjadi Guru yang Profesional

Kemampuan profesional guru bukanlah bakat. Dibutuhkan usaha supaya seorang guru dapat mencapai indikator guru profesional seperti yang disebutkan di atas. Berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjadi seorang guru profesional (Oktifa, 2022):

1. Memahami tugas dan fungsi seorang guru.

2. Selalu berusaha meningkatkan ilmu yang dimiliki baik ilmu terkait materi pelajaran maupun ilmu tentang bagaimana menjadi guru yang baik dengan banyak membaca, mengikuti pelatihan, berdiskusi dengan teman sejawat, dan lain sebagainya.

3. Mau melakukan refleksi supaya dapat menyadari kekurangan yang dimiliki kemudian berusaha untuk memperbaikinya.

4. Meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap hal-hal baru atau perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar supaya tidak mempengaruhi kualitas pembelajaran.

5. Mau menggandeng teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.


Referensi:

Arfandi, A., & Samsudin, M. A. (2021). Peran guru profesional sebagai fasilitator dan komunikator dalam kegiatan belajar mengajar. Edupedia: Jurnal Studi Pendidikan Dan Pedagogi Islam, 5(2), 124–132.

Oktifa, N. (2021, December 13). Indikator kompetensi guru profesional Yang Harus guru kenal. Aku Pintar. https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/indikator-kompetensi-guru-profesional-yang-harus-guru-kenal

Sidiq, U. (2018). Etika dan Profesi Keguruan. Tulungagung: Penerbit STAI [Sekolah Tinggi Agama Islam] Muhammadiyah. Tersedia Secara Online Juga Di: Http://Repository. Iainponorogo. Ac. Id/395/1/Etika, 20, 26.

Sasaran Sikap Profesional dan Pengembangan Sikap Profesional Keguruan



Dalam dunia pendidikan, peran seorang guru memiliki peranan krusial dalam membentuk karakter, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik. Seorang guru tidak hanya bertanggung jawab dalam mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga dalam membentuk sikap dan kepribadian peserta didik melalui proses mendidik, mengasuh, dan membimbing. Sikap profesional seorang guru menjadi salah satu aspek penting yang mempengaruhi efektivitas dan kualitas pembelajaran di kelas. Guru profesional harus menjadikan anak didik sebagai mitra pembelajaran, karena harapan mereka adalah menjadi manusia berakhlak, kreatif dan inovatif untuk meraih cita-citanya.

"Sikap profesional" terdiri dari dua kata, yaitu "sikap" dan "profesional". Thursthoen dalam Walgito (1990:108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek (Elvianasti, 2020). Sementara  itu, profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memiliki standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Nana Sudjana dalam Usman (2005) menyatakan bahwa pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain (Elvianasti, 2020). Semiawan (1991) menyatakan bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan invitation learning environment (Elvianasti, 2020). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dan pendapat para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa, sikap profesional guru adalah suatu kepribadian atau respons  yang menggambarkan kecenderungan untuk bereaksi sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan dalam melakukan tugas pendidikan dan pengajaran yang ahli dalam menyampaikannya. Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional, baik yang bersifat pribadi, sosial, dan akademis.

Sasaran sikap profesional bagi para pendidik adalah menciptakan lingkungan belajar yang inspiratif dan inklusif, di mana setiap siswa merasa diterima, dihargai, dan didorong untuk berkembang secara holistik. Guru juga diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan dan perubahan dalam dunia pendidikan dengan sikap positif dan ketabahan, serta selalu berusaha untuk meningkatkan diri secara berkelanjutan (Maharani & Rahimah, 2023). Sasaran sikap profesional keguruan dijelaskan secara rinci, yakni sebagai berikut (Hamid, 2017).

1. Sikap terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Pada butir sembilan kode etik guru Indonesia disebutkan bahwa “guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Kebijakan pendidikan di negara kita dipegang oleh pemerintah, dalam hal ini oleh kementerian pendidikan kebudayaan. Dalam rangka pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang merupakan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh aparatnya, yang meliputi antara lain pembangunan gedung-gedung pendidikan, pemerataan kesempatan belajar antara lain dengan melalui kewajiban belajar, peningkatan mutu pendidikan, pembinaan generasi muda dengan menggiatkan kegiatan taruna dan lain-lain. Guru merupakan unsur aparatur negara dan abdi negara. Oleh karena itu, guru mutlak perlu mengetahui kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan sehingga dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan tersebut.

2. Sikap terhadap Organisasi Profesi
Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. PGRI sebagai organisasi profesi memerlukan pembinaan, agar lebih berdaya guna sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung kepada kesadaran para anggotanya, rasa tanggung jawab dan kewajiban para anggotanya. Setiap anggota harus memberikan sebagian waktunya untuk kepentingan pembinaan profesinya, dan semua waktu dan tenaga yang diberikan oleh para anggota ini dikoordinasikan oleh para pejabat organisasi tersebut, sehingga pemanfaatannya menjadi efektif dan efisien. 

3. Sikap terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat 7 kode etik guru disebutkan bahwa “guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial”. Hal ini berarti bahwa: (l) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya, dan (2) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya.  

4. Sikap terhadap Anak Didik
Dalam kode etik guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa “guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila”. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari yakni tujuan pendidikan nasional, prinsip membimbing dan prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

5. Sikap terhadap Tempat Kerja
Seperti yang kita ketahui bahwa suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatan produktivitas. Hal ini disadari dengan sebaik-baiknya oleh setiap guru, dan guru berkewajiban menciptakan suasana yang sedemikian rupa dalam lingkungannya. Untuk menciptakan suasana kerja yang baik ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: guru sendiri, dan hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat sekeliling.

6. Sikap terhadap Pemimpin
Pemimpin suatu unit atau organisasi akan mempunyai kebijaksanaan dan arahan dalam memimpin organisasinya, dimana tiap anggota organisasi itu dituntut berusaha untuk bekerja sama dalam melaksanakan tujuan organisasi tersebut. Maka, sikap seorang guru terhadap pemimpin harus positif, dalam pengertian harus bekerja sama dalam menyukseskan program yang sudah disepakati, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

7. Sikap terhadap Pekerjaan
Butir keenam dalam kode etik guru Indonesia berbunyi “guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”. Dalam butir keenam ini dituntut kepada guru baik secara pribadi maupun secara kelompok untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Guru sebagaimana juga dengan profesi lainnya tidak mungkin dapat meningkatkan mutu dan martabat profesinya bila guru itu tidak meningkatkan atau menambah pengetahuan dan keterampilannya karena ilmu dan pengetahuan yang menunjang profesi itu selalu berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.

Pengembangan sikap profesional keguruan merupakan proses yang berkelanjutan dan menuntut refleksi diri serta upaya perbaikan secara terus-menerus. Guru perlu mengidentifikasi area di mana sikap profesional mereka perlu ditingkatkan, seperti kemampuan berkomunikasi yang lebih efektif, keterbukaan terhadap umpan balik, atau peningkatan dalam merencanakan pembelajaran yang inovatif (Maharani & Rahimah, 2023). Pengembangan sikap professional ini dapat dilakukan, baik selagi dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan) (Hamid, 2017).

1. Pengembangan Sikap Selama Pendidikan Prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Pembentukan sikap tertentu terjadi sebagai hasil sampingan (by product) dari pengetahuan yang diperoleh calon guru. Misalnya, sikap teliti dan disiplin dapat terbentuk sebagai hasil sampingan dari hasil belajar matematika yang benar, karena belajar matematika selalu menuntut ketelitian dan kedisiplinan penggunaan aturan dan prosedur yang telah ditentukan.

2. Pengembangan Sikap Selama dalam Jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak berhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap profesional keguruan dalam masa pengabdiannya sebagai guru, misalnya dengan mengikuti  kegiatan formal seperti penataran, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainnya, atau pun secara informal melalui media massa televisi, radio, koran dan majalah maupun publikasi lainnya.


Referensi

Elivianasti, M. (2020). Modul Profesi Pendidikan. Jakarta: Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Hamid, A. (2017). Guru profesional. Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman Dan Kemasyarakatan, 17(2), 274–285.

Maharani, D., & Rahimah, R. (2023). Sasaran Sikap Profesional Dan Pengembangan Sikap Profesional Keguruan. KITABAH: Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Syariah, 7(1), 46–54.

Organisasi Profesi Keguruan



Sebelumnya kita telah membahas mengenai kode etik profesi keguruan dan pembahasan kali ini akan berfokus pada organisasi profesi keguruan. Salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi (Soetjipto & Kosasi, 2009; Elvianasti, 2020). Wadah bagi guru-guru di Indonesia sendiri adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dalam perkembangannya saat ini lahir berbagai organisasi untuk mengembangkan profesi guru diantaranya adalah Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan ada yang lebih spesifik pada pengembangan guru sesuai bidang keahliannya seperti Asosiasi Guru Sains Indonesia (AGSI), Asosiasi Guru Ekonomi Indonesia (AGEI), Asosiasi Guru Otomotif Indonesia (AGTOI), Asosiasi Guru Matematika Indonesia (AGMI), Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), Asosiasi Guru Penulis Indonesia (AGUPENA), dan sebagainya (Nurhadi, 2017)

Pengertian

Organisasi profesi keguruan berasal dari tiga kata, yaitu organisasi, profesi dan keguruan (guru). Menurut Indriyo Gitosudarmo, organisasi adalah suatu sistem yang terdiri dari pola aktivitas kerja sama yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan (Ardana dalam Nurjan, 2015). Ada empat unsur organisasi, yakni sebagai berikut (Nurjan, 2015):

1. Sistem, yaitu organisasi kumpulan dari sub-sub yang memiliki saling keterkaitan fungsional satu dengan yang lain.

2. Pola aktivitas, yaitu aktivitas yang dilakukan sekelompok memiliki pola dan cenderung dilakukan secara berulang.

3. Sekelompok orang, yaitu organisasi merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan bersama.

4.  Tujuan, yaitu organisasi yang didirikan untuk mencapai tujuan yang direncanakan.

Profesi adalah jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian seseorang dan didapat melalui adanya proses pendidikan. Suatu profesi erat kaitanya dengan jabatan atau pekerjaan tertentu yang dengan sendirinya menuntut keahlian, pengetahuan, dan keterampilan tertentu pula (Windiyani dkk, 2020). Di samping itu, guru adalah pendidik dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan mengevaluasi. Jabatan guru dikenal sebagai pekerjaan profesional, artinya jabatan ini memerlukan suatu keahlian khusus (Windiyani dkk, 2020)

Menurut PP Nomor 19 Tahun 2017, perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru, mengatakan bahwa organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Definisi ini menunjukkan bahwa organisasi profesi guru didirikan oleh, dari dan untuk guru itu sendiri (Windiyani dkk, 2020).

Dari kata organisasi profesi dapat diartikan sebagai organisasi yang anggotanya adalah para praktisi yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung bersama untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat mereka laksanakan dalam kapasitas mereka sebagai individu. Organisasi profesi merupakan suatu wadah tempat para anggota profesional tersebut menggabungkan diri dan mendapatkan perlindungan (Sidiq, 2018). Jadi, dapat disimpulkan bahwa organisasi profesi guru adalah suatu wadah perkumpulan orang-orang yang memiliki suatu keahlian khusus dalam mendidik (Windiyani dkk, 2020).

Fungsi

Tugas utama organisasi profesi bertalian dengan pengembangan profesi pendidik adalah mengkoordinasi kesempatan yang ada untuk meningkatkan profesi, menilai tingkat profesionalisme pendidik, mengawasi pelaksanaan pendidikan dan perilaku pendidik sebagai seorang profesional, dan menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang melanggar kode etik profesi pendidikan (Sidiq, 2018). Peningkatan profesi pendidik perlu dikaitkan dengan organisasi profesi pendidikan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi profesi adalah pendukung, pembina, dan berupaya agar profesi pendidik berkembang secara berkelanjutan. Jadi, keberadaan organisasi profesi pendidikan sesungguhnya sangat menguntungkan bagi peningkatan profesi pendidik jika berfungsi dengan baik.

Ada beberapa fungsi organisasi profesi keguruan yang dijelaskan sebagai berikut (Elvianasti, 2020): 

1. Sebagai Pemersatu Keguruan

Organisasi profesi kependidikan merupakan organisasi profesi sebagai wadah pemersatu berbagai potensi profesi kependidikan dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan harapan masyarakat pengguna-pengguna jasa pendidikan. Organisasi profesi diharapkan mempersatukan potensi sehingga memiliki kewibawaan dan kekuatan dalam menentukan kebijakan dan melakukan tindakan bersama.

2. Sebagai Peningkatan Kompetensi Keguruan

Menurut Johnson kompetensi dibangun oleh enam perangkat kompetensi berikut ini (Elvianasti, 2020).

a. Performance component, yaitu unsur kemampuan penampilan kinerja yang sesuai dengan profesi kependidikan.

b. Subject component, yaitu unsur kemampuan penguasaan bahan/substansi pengetahuaan yang relevan.

c. Professional component, yaitu kemampuan penguasaan substansi pengetahuan dan keterampilan teknis profesi kependidikan.

d. Process component, yaitu unsur kemampuan penguasaan proses mental mencakup berpikir logis dalam pemecahan masalah.

e. Adjustment component, yaitu unsur kemampuan penyerasian dan penyesuaian diri berdasarkan karakteristik pendidik. 

f. Attitudes component, yaitu unsur komponen sikap, nilai, kepribadian pendidik atau guru.

Tujuan

PP Nomor 38 Tahun 1992 Pasal 61 menyebutkan bahwa ada lima misi dan tujuan organisasi profesi pendidikan yaitu (Elvianasti, 2020):

1. Meningkatkan dan mengembangkan karir anggota, merupakan upaya mengembangkan karir anggota sesuai bidangnya. Karir yang dimaksud adalah perwujudan diri seorang pengemban profesi secara bermakna, baik bagi dirinya maupun orang lain.

2. Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anggota, merupakan upaya terwujudnya kompetensi pendidikan yang handal dengan kekuatan dan kewibawaan organisasi akan meningkatkan kemampuannya.

3. Kewenangan profesional,  merupakan upaya untuk menempatkan anggota sesuai kemampuannya.

4. Meningkatkan dam mengembangkan martabat anggota,  merupakan upaya agar anggota terhindar dari perlakuan tidak manusiawi pihak lain dan tidak melakukan praktik melecehkan nilai kemanusiaan.

5. Meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin seluruh tenaga kependidikan.


Referensi

Elivianasti, M. (2020). Modul Profesi Pendidikan. Jakarta: Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Nurhadi, A. (2017). Profesi Keguruan Menuju Pembentukan Guru Profesional. Kuningan: Goresan Pena.

Nurjan, S. (2015). Profesi Keguruan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Samudra Biru.

Sidiq, U. (2018). Etika dan Profesi Keguruan. Tulungagung: Penerbit STAI [Sekolah Tinggi Agama Islam] Muhammadiyah. Tersedia Secara Online Juga Di: Http://Repository. Iainponorogo. Ac. Id/395/1/Etika20, 26.

Soetjipto dan Raflis Kosasi. (2009). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.

Windiyani, Tustiyana. Dadang K., dan Ratih P. (2020). Profesi Kependidikan: Kajian Konsep, Aturan dan Fakta Keguruan. Bogor: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pakuan.

Kode Etik Profesi Keguruan



Setiap profesi memiliki kode etiknya sendiri untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertindak (Nurhadi, 2017). Sama halnya dengan profesi guru memiliki kode etik yang dikenal dengan kode etik guru. Kode etik ini menjadi rambu-rambu seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Salah satu tugas guru profesional adalah menjunjung tinggi dan menjalankan Kode Etik Guru Indonesia pada lingkungan pergaulan di sekolah dan di lingkungan masyarakat (Sidiq, 2018). Jika guru melanggar tentu ada sanksi yang akan didapatkan. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi, dalam hal ini PGRI (Nurhadi, 2017; Windiyani dkk, 2020).

Pengertian 
Menurut Satori (2007) secara etimologi kode etik artinya pola aturan, tata cara, tanda pedoman etis dalam melakukan pekerjaan sehingga kode etik merupakan pola aturan atau tata cara etis sebagai pedoman perilaku. Etis artinya sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu (Nurhadi, 2017). Di samping itu, Soetjipto dan Raflis Kosasi menegaskan bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan larangan yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak hanya dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari dalam masyarakat (Windiyani dkk, 2020).

Tujuan
Pada dasarnya tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (Windiyani dkk, 2020; Elvianasti, 2020; Sidiq, 2018):
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
Kode etik dapat menjaga pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka tidak memandang rendah terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindakan atau kelakuan anggotanya yang dapat mencemarkan nama baik profesi. Dari segi ini kode etik sering disebut kode kehormatan.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Kesejahteraan mencakup lahir (atau material) maupun batin (spiritual, emosional, dan mental). Kode etik umumnya memuat larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tarif-tarif minimum bagi honorarium anggota profesi dalam melaksanakan tugasnya, sehingga siapa saja yang mengadakan tarif di bawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin, kode etik umumnya memberi petunjuk-petunjuk kepada anggotanya untuk melaksanakan profesinya.
3. Untuk dijadikan pedoman berperilaku
Kode etik mengandung peraturan yang membatasi tingkah laku yang tidak pantas dan tidak jujur bagi para anggota profesi dalam berinteraksi dengan sesama rekan anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Kode etik berkaitan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi sehingga bagi anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tangung jawab pengabdian dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya
5. Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya. 
6. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
Kode etik mewajibkan setiap anggotanya untuk aktif berpartisipasi dalam membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi (Ibid dalam Sidiq, 2018)

Fungsi
Secara umum fungsi kode etik guru yaitu: (a) agar guru memiliki pedoman dan arah yang jelas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terhindar dari penyimpangan profesi, (b) agar guru bertanggung jawab atas profesinya, (c) agar profesi guru terhindar dari perpecahan dan pertentangan internal, (d) agar guru mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan, sehingga jasa profesi guru diakui dan digunakan oleh masyarakat, (e) agar profesi ini membantu dalam memecahkan masalah dan mengembangkan diri, dan (f) agar profesi guru terhindar dari campur tangan profesi lain dan pemerintah (Windiyani dkk, 2020)
  
Kode Etik Guru Indonesia
Pada kode etik guru butir pertama dengan jelas dinyatakan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, yakni tujuan pendidikan nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia seutuhnya (Soetjipto dalam Nurjan, 2015).

Dalam kode etik guru butir keempat dituliskan bahwa guru menciptakan suasana di sekolah dengan sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. Bagian ini menegaskan bahwa seorang guru harus aktif mengusahakan suasana yang baik itu dengan berbagai cara, yaitu dengan penggunaan metode mengajar yang sesuai, penyediaan alat belajar-mengajar yang cukup, pengaturan organisasi kelas yang mantap, ataupun pendekatan lainnya yang diperlukan. Suasana harmonis di sekolah tidak akan terjadi bila setiap personil yakni kepala sekolah, guru, staf administrasi dan siswa, yang terlibat di dalamnya tidak menjalin hubungan yang baik di antara sesamanya (Nurjan, 2015).

Pada kode etik guru butir keenam disebutkan bahwa guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan, meningkatkan mutu dan martabat profesinya. Dasar ini sangat tegas mewajibkan kepada seluruh anggota profesi guru untuk selalu meningkatkan mutu dan martabat profesi guru itu sendiri (Kunandar dalam Nurjan, 2015; Elvianasti, 2020). Selain itu, berdasarkan kode etik ini guru juga dituntut untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuannya sehingga mampu menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh peserta didik yang terkadang dipengaruhi oleh perkembangan zaman (Nurjan, 2015).
 
Pada butir ketujuh kode etik guru dikatakan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. Hal ini berarti bahwa guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya, serta guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di luar tempat kerjanya (Nurjan, 2015).

Pada Kode Etik Guru Indonesia butir kesembilan dikatakan bahwa guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan pendidikan di negara Indonesia diatur oleh Dinas Pendidikan Nasional. Dalam rangka pembangunan pendidikan di Indonesia, melalui dinas pendidikan nasional mengeluarkan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh aparatnya yakni guru. Oleh karenanya, guru harus mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan, sehingga dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan adalah segala peraturan pelaksanaan baik yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Nasional di pusat maupun di daerah. Contohnya adalah peraturan tentang berlakunya kurikulum sekolah, pendidikan gratis, pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dan lain sebagainya. Kode etik pada butir kesembilan akan menentukan apakah seorang guru taat pada peraturan perundang-undangan atau tidak (Nurjan, 2015)

Sanksi untuk Pelanggaran Kode Etik
Sanksi yang dikenakan kode etik guru tersebut adalah guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru, karena (Elvianasti, 2020):
a. melanggar sumpah dan janji jabatan,
b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama,
c. melalaikan kewajiban dalam melaksanakan tugas selama 1 bulan atau lebih secara terus menerus. 

Sanksi terhadap guru dapat juga berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak guru, penurunan pangkat, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat (Elvianasti, 2020).


Referensi:

Elivianasti, M. (2020). Modul Profesi Pendidikan. Jakarta: Pendidikan Biologi Universitas             Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Nurhadi, A. (2017). Profesi Keguruan Menuju Pembentukan Guru Profesional. Kuningan:             Goresan Pena.

Nurjan, S. (2015). Profesi Keguruan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Samudra Biru.

Sidiq, U. (2018). Etika dan Profesi Keguruan. Tulungagung: Penerbit STAI [Sekolah Tinggi           Agama Islam] Muhammadiyah. Tersedia Secara Online Juga Di: Http://Repository.             Iainponorogo. Ac.Id/395/1/Etika, 20, 26.

Windiyani, Tustiyana. Dadang K., dan Ratih P. (2020). Profesi Kependidikan: Kajian                     Konsep, Aturan dan Fakta Keguruan. Bogor: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah             Dasar Universitas Pakuan.

Pengertian dan Syarat Profesi Guru



Pengertian Profesi Guru

Pada artikel sebelumnya, kita telah membahas mengenai konsep profesi; guru termasuk salah satu profesi. Akan tetapi, masih ada para ahli yang meragukan guru sebagai jabatan profesi karena hampir semua orang dapat menjadi guru. Satori (2007) mengatakan bahwa guru belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai profesi yang utuh dan bahkan banyak orang berpendapat bahwa guru hanya jabatan semi profesional atau profesi yang baru muncul (emerging profession) karena belum semua ciri-ciri profesi terpenuhi (Nurhadi, 2017). 

Dalam perkembangannya guru akan menjadi profesi yang utuh. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 39 menjelaskan bahwa pendidik atau guru merupakan tenaga profesional yang bertugas dalam merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, mengevaluasi hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Nurhadi, 2017). Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Pasal 1 disebutkan guru adalah pendidik profesional yang tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Nurhadi, 2017). Berdasarkan undang-undang ini maka dengan jelas menjadikan guru sebagai profesi yang utuh, tetapi tentu dengan adanya syarat profesi yang harus dipenuhi oleh seorang guru.


Syarat Profesi Guru

Ada beberapa kriteria yang disusun oleh National Education Association (NEA) (1948) khusus untuk seorang guru adalah sebagai berikut (Soetjipto & Kosasi, 2009; Ilahi, n.d.):

1. Jabatan yang melibatkan aktivitas intelektual
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang spesifik
3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional dalam jangka waktu yang lama
4. Jabatan yang memerlukan "latihan dalam jabatan" yang berkelanjutan
5. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen
6. Jabatan yang menentukan standar (bakunya) sendiri
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan pengabdian di atas kepentingan pribadi
8. Jabatan yang memiliki organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat            

Semua kriteria di atas harus dapat dipenuhi oleh guru atau pengajar sehingga dapat dikatakan sebagai profesi (Soetjipto & Kosasi, 2009; Ilahi, n.d.). Penjelasan setiap kriteria tersebut akan dijabarkan satu per satu.

1. Jabatan yang melibatkan aktivitas intelektual

Profesi guru jelas memenuhi kriteria ini karena mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi ativitas intelektual. Sadar atau pun tidak, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan dari semua kegiatan profesional lainnya (Ilahi, n.d.).

2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang spesifik

Ada berbagai pendapat tentang apakah mengajar memenuhi persyaratan kedua ini. Mereka yang bergerak di bidang pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah mengembangkan secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru yang berwewenang. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa mengajar belum mempunyai batang tubuh ilmu spesifik yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama menganggap bahwa mengajar adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua berpendapat bahwa mengajar adalah suatu kiat (art) (Stinnett dan Huggest dalam Soetjipto & Kosasi, 2009).

Menurut Sanusi dkk (1991) masih ada yang berpikir bahwa ilmu pendidikan sedang dalam krisis identitas, batang tubuhnya tidak jelas, batas-batasnya kabur, strukturnya sebagai a body of knowledge masih samar (Soetjipto & Kosasi, 2009). Sekarang ini banyak guru di sekolah menengah diperkirakan mengajar di luar bidang ilmu yang sesuai dengan ijazahnya. Misalnya, banyak guru matematika tidak mendapatkan banyak ilmu matematika pada saat mereka belajar di lembaga pendidikan guru, atau pun mereka tidak dipersiapkan dan dilatih untuk mengajar matematika.

3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional dalam jangka waktu yang lama

Anggota kelompok guru dan yang berwewenang di departemen pendidikan dan kebudayaan berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup lama sangat perlu untuk mendidik guru yang berwewenang. Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidikan umum, profesional, dan khusus, sekurang-kurangnya empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK), atau pendidikan persiapan profesional di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di perguruan tinggi non-LPTK. Akan tetapi, permasalahan yang terjadi sampai sekarang di Indonesia, masih banyak guru yang lama pendidikan mereka sangat singkat, bahkan masih ada yang hanya seminggu, sehingga tentu saja kualitasnya masih sangat jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang kita harapkan (Nurhadi, 2017). 

4. Jabatan yang memerlukan "latihan dalam jabatan" yang berkelanjutan

Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan profesional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Bahkan pada saat sekarang bermacam–macam pendidikan profesional tambahan diikuti guru-guru dalam menyertakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan (Ilahi, n.d.).

5. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen

Di luar negeri banyak guru baru yang hanya bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesi mengajar. Setelah itu mereka pindah bekerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan bayaran yang lebih tinggi. Faktanya, di Indonesia tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang lain, walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di Indonesia mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya bisa jadi karena sistem pindah jabatan yang tidak mudah dan lapangan kerja yang tidak seluas di luar negeri (Soetjipto & Kosasi, 2009). Oleh karena itu, kriteria kelima dapat dipenuhi oleh profesi guru di Indonesia.

6. Jabatan yang menentukan standar (bakunya) sendiri

Karena jabatan guru menyangkut hajat banyak orang, maka baku jabatan guru masih sangat banyak diatur oleh pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan tenaga guru tersebut seperti yayasan pendidikan swasta. Sementara kebanyakan jabatan mempunyai patokan dan persyaratan yang seragam untuk meyakinkan kemampuan minimum yang diharuskan, tidak demikian halnya dengan jabatan guru (Ilahi, n.d.). 

Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok dianggap sanggup untuk membuat keputusan profesional berhubungan dengan iklim kerjanya. Para profesional biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetensinya. Pengawasan luar sebenarnya adalah musuh alam dari profesi, karena membatasi kekuasaan profesi dan membuka peluang terhadap pengaruh luar (Omnstein dan Levine dalam Soetjipto & Kosasi, 2009). Dokter dan pengacara misalnya, menyediakan layanan untuk masyarakat, sementara kliennya membayar untuk itu. Di sini orang banyak atau klien bukan sebagai pihak yang mengatur dalam menulis resep ataupun menulis kontrak.

7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan pengabdian di atas kepentingan pribadi

Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah (Ilahi, n.d.).

8. Jabatan yang memiliki organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat

Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi profesional yang kuat untuk dapat mewadahi tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru mulai dari guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjut atas, dan ada juga Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang menjadi wadah untuk seluruh sarjana pendidikan (Soetjipto & Kosasi, 2009).


Untuk melakukan pembentukan profesi guru secara utuh, pemerintah memprogram bagi mereka yang telah menjadi guru melalui proses sertifikasi, dimana telah dilakukan pasca lahirnya Undang-Undang 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Sedangkan bagi mereka calon guru melalui pendidikan profesi guru. Sertifikasi merupakan upaya standardisasi profesi guru agar mencapai sebuah profesi. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru yang memangku jabatan tenaga profesional (PP 74 Tahun 2008 tentang Guru). Sertifikasi dilakukan bagi mereka yang telah menjadi guru biasa disebut guru dalam jabatan melalui portofolio dan/atau Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Sedangkan bagi mereka calon guru atau guru prajabatan melalui Pendidikan Profesi Guru (Nurhadi, 2017).

Sertifikasi guru dikenakan baik pada calon guru lulusan LPTK, maupun yang berasal dari perguruan tinggi non kependidikan (bidang ilmu) tertentu yang ingin memilih guru sebagai profesi. Lulusan dari jenis perguruan tinggi non kependidikan, sebelum mengikuti uji sertifikasi dipersyaratkan mengikuti program pembentukan kemampuan mengajar di LPTK. Di samping itu, agar fungsi penjaminan mutu guru dapat dilakukan dengan baik, guru yang sudah bekerja pada interval waktu tertentu (10-15 tahun), dipersyaratkan mengikuti program resertifikasi (Sidiq, 2018).


Referensi:

Ilahi, A. (n.d.). KURIKULUM (PROGRAM) PENDIDIKAN PROFESI KEGURUAN.

Nurhadi, A. (2017). Profesi Keguruan Menuju Pembentukan Guru Profesional. Kuningan: Goresan Pena.

Sidiq, U. (2018). Etika dan Profesi Keguruan. Tulungagung: Penerbit STAI [Sekolah Tinggi Agama Islam] Muhammadiyah. Tersedia Secara Online Juga Di: Http://Repository. Iainponorogo. Ac. Id/395/1/Etika20, 26.

Soetjipto dan Raflis Kosasi. (2009). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ruang Lingkup Profesi Keguruan



Keberhasilan proses belajar-mengajar dalam satuan pendidikan tidak lepas dari peranan guru dan dosen. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kedudukan guru adalah sebagai agen pembelajaran dan tenaga profesional (Darmawan, 2020). Sebagai tenaga profesional, seorang guru harus memiliki kualitas akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu (Sidiq, 2018). Oleh karenanya, tidak semua orang dapat menjalankan profesi sebagai guru. Sebelum membahas lebih jauh tentang profesi keguruan, kita perlu mengetahui apa sih itu profesi? Setelah memahami pengantar dasar tersebut, kita dapat melanjutkan pokok pembahasan lebih jauh mengenai ruang lingkup profesi keguruan.  

Profesi

Kita semua pasti sudah sering mendengar atau membaca kata "profesi" melalui percakapan atau tulisan-tulisan. Sebagian besar orang mengartikan profesi sebagai pekerjaan atau jabatan yang dimilikinya, misalnya dokter, pengacara, guru, pegawai staf, penari, tukang sayur, dan lain sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut sifatnya masih umum dan beragam karena belum dapat dilihat dengan jelas mengenai kriteria yang digunakan untuk menyebut pekerjaan tersebut sebagai profesi. Kriteria bagi suatu pekerjaan untuk disebut sebagai profesi dapat dilihat dari segi pendidikan formal yang harus ditempuh oleh seseorang untuk bisa mendapatkan profesi tertentu (Soetjipto & Kosasi, 2009). Misalnya, arsitek dan dokter harus menyelesaikan pendidikan tinggi yang cukup lama, dan menjalani pelatihan yakni magang yang juga menghabiskan waktu yang tidak singkat sebelum mereka diizinkan memangku jabatannya. Setelah memangku jabatannya, mereka pun dituntut untuk selalu memberikan layanan atau pengabdian kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya melalui semua pengetahuan dan keterampilan yang telah dan sedang mereka latih. Di sisi lain, untuk menjadi penari atau pedagang, seseorang mungkin tidak memerlukan pendidikan tinggi dan pelatihan khusus seperti magang.

Menurut Satori (2007), profesi adalah jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya (Nurhadi, 2017). Dalam kamus The Advanced Learner's Dictionary of Current English yang ditulis A.S. Hornby dkk, jabatan memerlukan suatu pendidikan tinggi dan latihan secara khusus (Nurhadi, 2017). Jabatan yang dipangku itulah yang akan menentukan berbagai aktivitas dari pelaksana tugas. Hal ini berarti bahwa bukan jabatan yang menjabat predikat profesional, tetapi keahlian dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan.

Secara keseluruhan, profesi merupakan bidang pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang karena telah memiliki keahlian tertentu melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup lama. Keahlian itu harus terus dikembangkan dan dilatih dalam memberikan pengabdian kepada masyarakat.

Profesi Keguruan

Guru merupakan salah satu contoh profesi karena memiliki peran yang signifikan di lingkungan masyarakat, memiliki keterampilan atau keahlian yang didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (misalnya, tekonologi pembelajaran, metode dan strategi pembelajaran, penilaian pendidikan, dan lain-lain), memiliki organisasi profesi dan kode etik dalam berperilaku yang disertai dengan sanksi, serta menerima imbalan finansial dan materiel (Nurjan, 2015). Profesi keguruan merupakan penjelasan yang lebih khusus dalam pembahasan profesi kependidikan. Robert W. Rickey mengemukakan ciri-ciri profesi keguruan adalah sebagai berikut (Djaman Satori dkk dalam Windiyani dkk, 2020).

  1. Guru menjalankan pekerjaannya untuk memberikan pelayanan kemanusiaan, bukan hanya untuk kepentingan pribadi.
  2. Secara hukum, guru harus memenuhi berbagai persyaratan untuk memperoleh lisensi mengajar dan persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota organisasi guru.
  3. Guru harus memiliki pemahaman dan keterampilan (atau keahlian) yang baik dalam hal bahan ajar, metode, anak didik, dan landasan kependidikan.
  4. Guru dalam organisasi profesional memiliki publikasi profesional yang dapat melayani para guru, sehingga tidak ketinggalan dan selalu mengikuti perkembangan yang terjadi.
  5. Guru sebaiknya mengusahakan untuk selalu mengikuti berbagai kursus, seminar, workshop, konvensi, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan "in service".
  6. Guru diakui sepenuhnya sebagai suatu karier hidup.
  7. Guru memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun lokal.  

Profesi keguruan atau para pendidik diberikan pelajaran tentang pendidikan dalam jangka waktu yang relatif panjang agar mereka betul-betul menguasai ilmu itu dan terampil dalam menerapkan ilmunya di lapangan.

Ruang Lingkup Profesi Keguruan

Guru profesional mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional karena mereka lebih memprioritaskan kepentingan profesi dibandingkan kepentingan pribadi. Kehadiran guru profesional sangat diperlukan dalam mendidik peserta didik yang memiliki kemampuan akademik yang baik dan di saat yang bersamaan memiliki kreatifitas yang tinggi. Ruang lingkup profesi keguruan diantaranya adalah layanan guru dalam melaksanakan profesinya (Elvianasti, 2020). Layanan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Layanan instruksional. Layanan instruksional adalah layanan pembelajaran dan pendidikan. Layanan ini berkenaan dengan tugas guru untuk menguasai isi materi dan wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan pembelajaran, serta kemampuan merangkum materi sesuai dengan latar perkembangan dan tujuan pendidikan.  
  2. Layanan administrasi pendidikan. Layanan ini sangat esensial dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan operasional pendidikan demi mencapai tujuan pendidikan di suatu lembaga pendidikan dan menentukan maju mundurnya suatu instansi atau lembaga yang mereka kerjakan. 
  3. Layanan bantuan akademik-sosial-pribadi. Peran layanan bantuan adalah untuk meningkatkan perkembangan siswa secara optimal dari segi akademik, sosial, dan kepribadian seperti nilai-nilai dan temperamen.
Menurut Juhji & Suardi (2018), ruang lingkup profesi guru juga dapat dikelompokkan menjadi dua gugus, yakni:
  1. Gugus pengetahuan dan penguasaan teknik dasar profesional mencakup: pengetahuan tentang disiplin ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan studi; penguasaan bidang studi sebagai objek belajar; pengetahuan tentang karakteristik atau perkembangan belajar; pengetahuan tentang berbagai model teori belajar (umum dan khusus); pengetahuan dan penguasaan berbagai proses belajar (umum dan khusus); pengetahuan tentang karakteristik dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik sebagai latar belakang dan konteks berlangsungnya proses belajar; pengetahuan tentang proses sosialisasi dan kulturalisasi; pengetahuan dan penghayatan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa; pengetahuan dan penguasaan berbagai media sumber belajar; pengetahuan tentang berbagai jenis informasi kependidikan dan manfaatnya; penguasaan teknik mengamati proses belajar-mengajar; penguasaan berbagai metode mengajar; penguasaan teknik menyusun instrumen penilaian kemajuan belajar; penguasaan teknik perencanaan dan pengembangan program belajar-mengajar; pengetahuan tentang dinamika hubungan interaksi antara manusia, terutama dalam proses belajar-mengajar; pengetahuan tentang sistem pendidikan sebagai bagian terpadu dari sistem sosial negara-bangsa; serta penguasaan teknik memperoleh informasi yang diperlukan untuk kepentingan proses pengambilan keputusan.
  2. Gugus kemampuan profesional mencakup: merencanakan program belajar-mengajar yang meliputi: (1) merumuskan tujuan-tujuan instruksional, (2) menguraikan deskripsi satuan bahasan, (3) merancang kegiatan belajar mengajar, (4) memilih media dan sumber belajar, dan (5) menyusun instrumen evaluasi; melaksanakan dan memimpin proses belajar mengajar yang meliputi: (1) memimpin dan membimbing proses belajar-mengajar, (2) mengatur dan mengubah suasana belajar-mengajar, dan (3) menetapkan dan mengubah urutan kegiatan belajar; menilai kemajuan belajar yang meliputi: (1) memberikan skor atas hasil evaluasi, (2) mentransformasikan skor menjadi nilai, dan (3) menetapkan ranking; serta menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi hasil penilaian dan penelitian untuk memecahkan masalah profesional kependidikan.


Referensi:

Darmawan, C. (2020). Implementasi Kebijakan Profesi Guru Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Dalam Perspektif Hukum Pendidikan. Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, 19(2), 61–68.

Elivianasti, M. (2020). Modul Profesi Pendidikan. Jakarta: Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Juhji, J., & Suardi, A. (2018). Profesi Guru dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik di Era Globalisasi. Geneologi PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 5(1), 16–24.

Nurhadi, A. (2017). Profesi Keguruan Menuju Pembentukan Guru Profesional. Kuningan: Goresan Pena.

Nurjan, S. (2015). Profesi Keguruan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Samudra Biru.

Sidiq, U. (2018). Etika dan Profesi Keguruan. Tulungagung: Penerbit STAI [Sekolah Tinggi Agama Islam] Muhammadiyah. Tersedia Secara Online Juga Di: Http://Repository. Iainponorogo. Ac. Id/395/1/Etika, 20, 26.

Soetjipto dan Raflis Kosasi. (2009). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.

Windiyani, Tustiyana. Dadang K., dan Ratih P. (2020). Profesi Kependidikan: Kajian Konsep, Aturan dan Fakta Keguruan. Bogor: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pakuan.