Kode Etik Guru dan Organisasi Profesi Guru




KODE ETIK GURU
Setiap profesi memiliki kode etiknya sendiri untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertindak (Nurhadi, 2017). Sama halnya dengan profesi guru memiliki kode etik yang dikenal dengan kode etik guru. Kode etik ini menjadi rambu-rambu seseorang guru dalam menjalankan tugasnya. Salah satu tugas guru profesional adalah menjunjung tinggi dan menjalankan Kode Etik Guru Indonesia pada lingkungan pergaulan di sekolah dan di lingkungan masyarakat (Sidiq, 2018). Jika guru melanggar tentu ada sanksi yang akan didapatkan. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi, dalam hal ini PGRI (Nurhadi, 2017; Windiyani dkk, 2020).

Pengertian Kode Etik
Menurut Satori (2007) secara etimologi kode etik artinya pola aturan, tata cara, tanda pedoman etis dalam melakukan pekerjaan sehingga kode etik merupakan pola aturan atau tata cara etis sebagai pedoman perilaku. Etis artinya sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu (Nurhadi, 2017). Di samping itu, Soetjipto dan Raflis Kosasi menegaskan bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan larangan yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak hanya dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan juga menyangkut tingkah laku anggota profesi pada umumnya dalam pergaulannya sehari-hari dalam masyarakat (Windiyani dkk, 2020).

Fungsi Kode Etik Guru
Secara umum fungsi kode etik guru yaitu: (a) agar guru memiliki pedoman dan arah yang jelas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terhindar dari penyimpangan profesi, (b) agar guru bertanggung jawab atas profesinya, (c) agar profesi guru terhindar dari perpecahan dan pertentangan internal, (d) agar guru mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan, sehingga jasa profesi guru diakui dan digunakan oleh masyarakat, (e) agar profesi ini membantu dalam memecahkan masalah dan mengembangkan diri, dan (f) agar profesi guru terhindar dari campur tangan profesi lain dan pemerintah (Windiyani dkk, 2020).

Sanksi untuk Pelanggaran Kode Etik Guru
Sanksi yang dikenakan kode etik guru tersebut adalah guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru, karena (Elvianasti, 2020):
a. melanggar sumpah dan janji jabatan,
b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama,
c. melalaikan kewajiban dalam melaksanakan tugas selama 1 bulan atau lebih secara terus menerus. 
Sanksi terhadap guru dapat juga berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak guru, penurunan pangkat, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat (Elvianasti, 2020).


ORGANISASI PROFESI GURU
Salah satu kriteria jabatan profesional, jabatan profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi (Soetjipto & Kosasi, 2009; Elvianasti, 2020). Wadah bagi guru-guru di Indonesia sendiri adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dalam perkembangannya saat ini lahir berbagai organisasi untuk mengembangkan profesi guru diantaranya adalah IGI, FSGI, AGSI, AGEI, AGTOI, AGMI, AGPAII, AGUPENA, dan sebagainya (Nurhadi, 2017).

Pengertian Organisasi Profesi Guru
Menurut PP Nomor 19 Tahun 2017, perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru, mengatakan bahwa organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Definisi ini menunjukkan bahwa organisasi profesi guru didirikan oleh, dari dan untuk guru itu sendiri (Windiyani dkk, 2020).

Fungsi Organisasi Profesi Guru
Ada beberapa fungsi organisasi profesi keguruan yang dijelaskan sebagai berikut (Elvianasti, 2020): 

1. Sebagai Pemersatu Keguruan

Organisasi profesi kependidikan merupakan organisasi profesi sebagai wadah pemersatu berbagai potensi profesi kependidikan dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan harapan masyarakat pengguna-pengguna jasa pendidikan. Organisasi profesi diharapkan mempersatukan potensi sehingga memiliki kewibawaan dan kekuatan dalam menentukan kebijakan dan melakukan tindakan bersama.

2. Sebagai Peningkatan Kompetensi Keguruan

Menurut Johnson kompetensi dibangun oleh enam perangkat kompetensi berikut ini (Elvianasti, 2020).

a. Performance component, yaitu unsur kemampuan penampilan kinerja yang sesuai dengan profesi kependidikan.

b. Subject component, yaitu unsur kemampuan penguasaan bahan/substansi pengetahuaan yang relevan.

c. Professional component, yaitu kemampuan penguasaan substansi pengetahuan dan keterampilan teknis profesi kependidikan.

d. Process component, yaitu unsur kemampuan penguasaan proses mental mencakup berpikir logis dalam pemecahan masalah.

e. Adjustment component, yaitu unsur kemampuan penyerasian dan penyesuaian diri berdasarkan karakteristik pendidik. 

f. Attitudes component, yaitu unsur komponen sikap, nilai, kepribadian pendidik atau guru.


Tujuan Organisasi Profesi Guru
PP Nomor 38 Tahun 1992 Pasal 61 menyebutkan bahwa ada lima misi dan tujuan organisasi profesi pendidikan yaitu (Elvianasti, 2020):

1. Meningkatkan dan mengembangkan karir anggota, merupakan upaya mengembangkan karir anggota sesuai bidangnya. Karir yang dimaksud adalah perwujudan diri seorang pengemban profesi secara bermakna, baik bagi dirinya maupun orang lain.

2. Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anggota, merupakan upaya terwujudnya kompetensi pendidikan yang handal dengan kekuatan dan kewibawaan organisasi akan meningkatkan kemampuannya.

3. Kewenangan profesional,  merupakan upaya untuk menempatkan anggota sesuai kemampuannya.

4. Meningkatkan dam mengembangkan martabat anggota,  merupakan upaya agar anggota terhindar dari perlakuan tidak manusiawi pihak lain dan tidak melakukan praktik melecehkan nilai kemanusiaan.

5. Meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin seluruh tenaga kependidikan.


Referensi

Elivianasti, M. (2020). Modul Profesi Pendidikan. Jakarta: Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Nurhadi, A. (2017). Profesi Keguruan Menuju Pembentukan Guru Profesional. Kuningan: Goresan Pena.

Sidiq, U. (2018). Etika dan Profesi Keguruan. Tulungagung: Penerbit STAI [Sekolah Tinggi Agama Islam] Muhammadiyah. Tersedia Secara Online Juga Di: Http://Repository. Iainponorogo. Ac. Id/395/1/Etika20, 26.

Soetjipto dan Raflis Kosasi. (2009). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.

Windiyani, Tustiyana. Dadang K., dan Ratih P. (2020). Profesi Kependidikan: Kajian Konsep, Aturan dan Fakta Keguruan. Bogor: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pakuan.

Pengembangan Potensi Peserta Didik



Pendidikan memiliki peranan yang sangat vital dan merupakan suatu wadah yang sangat tepat di dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia serta harus menjadi prioritas secara optimal dan berkesinambungan (Musa, 2015)Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 (Bab I, Pasal 1), pendidikan dipandang sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Ulfah & Arifudin, 2019). Pengembangan potensi peserta didik merupakan upaya yang sangat penting dalam pendidikan, bahkan menjadi esensi dari usaha pendidikan (Nurhasanah et al. dalam Amaliyah & Rahmat, 2021).

Potensi merupakan kecakapan yang masih tersembunyi atau yang masih terkandung dalam diri peserta didik, maka guru sebaiknya memiliki kemauan dan kemampuan mengidentifikasi potensi yang dimiliki peserta didik yang menjadi siswa asuhnya, kemudian membantu mengembangkan potensi peserta didik secara optimal (Herliani & Heryati, 2017). Tugas utama guru dalam pembelajaran adalah mengantarkan peserta didik pada prestasi terbaiknya sesuai dengan potensinya. Jadi hal pertama yang perlu dipahami adalah bagaimana karakteristik peserta didik asuhannya dan cara mengembangkan potensinya. Informasi mengenai karakteristik peserta didik dalam berbagai aspek menjadi satu acuan dalam menentukan kedalaman dan keluasan materi sehingga sesuai dengan perkembangan peserta didik. Berdasarkan pemahaman tersebut guru perlu bekerja keras dan kreatif untuk mengeksplorasi berbagai upaya baik dalam bentuk media, bahan ajar, dan metode pembelajaran untuk memfasilitasi peserta didik secara tepat dan kreatif sehingga sesuai dengan perkembangan mereka termasuk gaya belajarnya. Guru juga diharapkan dapat memahami konsep potensi peserta didik dan pengembangannya serta menentukan pembelajaran yang memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik.

Hal yang sangat penting dalam melaksanakan proses pembelajaran adalah guru menciptakan kondisi kondusif supaya setiap individu peserta didik dapat belajar secara optimal, meskipun mereka berada dalam kelompok. Dengan demikian dalam proses pembelajaran setiap individu memerlukan perlakuan yang berbeda, maka strategi dan upaya pelaksanaanya pun akan berbeda pula. Menurut Desmita dalam Herliani & Heryati (2017), ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan karakteristik individual peserta didik, yaitu:
  1. Karaketristik yang berkaitan dengan kemampuan awal atau prerequisite skills, seperti kemampuan intelektual, kemampuan berpikir dan hal-hal yang berhubungan dengan aspek psikomotor.
  2. Karakteristik yang berkaitan dengan latar belakang dan status sosio-kultural.
  3. Karakteristik yang berkaitan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian, seperti perasaan, sikap, minat dan sebagainya.
Upaya lain yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengenali potensi peserta didik, adalah dengan mengajukan pertanyaan, seperti: mata pelajaran apa yang paling kalian sukai? Pada dasarnya peserta didik memiliki banyak potensi. Oleh sebab itu, seorang pendidik memiliki tugas agar potensi-potensi peserta didik tersebut dapat berkembang dengan maksimal, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Kegiatan intrakurikuler dapat terwujud melalui proses belajar yang melibatkan peserta didik secara aktif (active learning). Oleh sebab itu, peserta didik diharapkan terus mengasah kecerdasan logika saat merumuskan ide-ide atau pendapat, kecerdasan bahasa saat menyampaikan secara lisan ide atau pendapat tersebut, kecerdasan keuletan saat harus beradu argumen dengan teman, kecerdasan intrapersonal saat harus bersikap toleran kepada yang lain, dan seterusnya. Selain itu, kegiatan ekstrakurikuler dapat mengembangkan potensi peserta didik. Hal ini sejalan dengan Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan oleh BSNP. Dalam panduan tersebut pengembangan potensi peserta didik disebut kegiatan pengembangan diri. Kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik serta kegiatan keparamukaan, kepemimpinan, dan kelompok ilmiah remaja merupakan salah satu kegiatan pengembangan diri peserta didik (Amaliyah & Rahmat, 2021).

Tujuan pembelajaran hakikatnya adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Oleh karena itu, guru seyogianya memiliki motivasi dan bekerja keras mengenali dan memahami potensi peserta didik asuhannya secara cermat dan jujur. Dengan memahami potensi peserta didik, guru dapat memberi gambaran yang tepat tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik, serta dapat mengetahui potensi yang perlu ditingkatkan dan kelemahan yang perlu diminimalisasi. Dengan demikian, guru dapat merencanakan pembelajaran yang tepat, kreatif, dan efektif agar peserta didik mencapai prestasi terbaiknya sesuai dengan potensinya karena pada dasarnya setiap peserta didik dianugerahi banyak potensi (potential ability) atau kapasitas (capacity).



Referensi

Amaliyah, A., & Rahmat, A. (2021). Pengembangan Potensi Diri Peserta Didik Melalui Proses Pendidikan. Attadib: Journal of Elementary Education, 5(1), 28–45.

Herliani, E., & Heryati, E. (2017). Pembelajaran 7. Pengembangan Potensi Peserta Didik. Pengembangan Potensi Peserta Didik (Modul Bela, Pp. 147–167). Direktorat GTK Pendidikan Dasar Direktorat Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Musa, M. I. (2015). Pelayanan pendidikan yang berkualitas di era global dalam mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal. Jurnal Pesona Dasar, 1(4).

Ulfah, U., & Arifudin, O. (2019). Peran Konselor Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik. Jurnal Tahsinia, 1(1), 92–100.

Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk Pembelajaran dan Pengembangan Diri



Perubahan dalam pola pembelajaran sangat dibutuhkan untuk melakukan pembaharuan dalam sebuah sistem pembelajaran konvensional yang dinilai sudah tidak relevan dengan dinamika perkembangan zaman yang berkembang semakin cepat dan intensif yang dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Suka atau tidak, guru dituntut untuk menguasai dan memanfaatkan TIK dalam membelajarkan peserta didiknya. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa serta mutu individu para peserta didik dalam hal penggunaan teknologi secara lebih tepat dan bermanfaat (Husain, 2014).

Kompetensi TIK guru adalah kemampuan guru dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dengan memanfaatkan TIK baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun mengevaluasi pembelajaran, baik pada aspek kompetensi pedagogi, personal, profesional, maupun sosial (Batubara, 2018). Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, kompetensi TIK bagi guru sekurang-kurangnya mempunyai dua fungsi, yaitu TIK sebagai pengembangan diri dan TIK sebagai penunjang proses pembelajaran (Niarsa dalam Batubara, 2018)Penetapan kompetensi TIK sebagai salah satu kompetensi guru merupakan konsekuensi logis terhadap besarnya pengaruh positif TIK bagi aktivitas pendidikan, seperti: mempercepat akses guru ke berbagai sumber belajar, mempercepat pekerjaan administrasi guru, membantu guru dalam menjelaskan materi yang bersifat abstrak dan rumit, dan mempermudah guru dalam mengirimkan laporan kinerjanya ke portal pemerintah (H. H. Batubara dalam Batubara, 2018).

Terdapat beberapa cara atau strategi untuk meningkatkan kompetensi TIK guru melalui peran berbagai pihak yang dijelaskan sebagai berikut (Rivalina, 2014Batubara, 2018).

1. Peran Pemerintah/Dinas Pendidikan

Pembinaan guru menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan dan dinas pendidikan. Pada tahun 2003, Kementerian Pendidikan Nasional telah bekerjasama dengan Microsoft dalam program Partners in Learning (PIL) untuk melaksanakan serangkaian kegiatan selama lima tahun, yang mencakup: 1) penguatan kemampuan TIK; 2) pengadaan sarana perangkat komputer disertai software berlisensi; 3) perumusan strategi yang tepat dalam upaya mencapai keahlian tingkat tinggi dalam menggunakan TIK; dan 4) pelatihan guru mempersiapkan materi pembelajaran dengan menggunakan TIK di dalam kelas.

2. Peran Sekolah

Peran sekolah dalam hal ini kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi TIK guru perlu dioptimalkan. Kepala sekolah sebagai pendidik harus berperan dalam meningkatkan kompetensi TIK guru melalui penerapan berbagai kebijakan yang mendukung pemanfaatan TIK, memfasilitasi guru dalam meningkatkan kompetensi mereka, memberikan motivasi dan fasilitas kepada guru untuk terus-menerus meningkatkan kompetensi mereka, baik melalui diskusi sesama kolega maupun pemberian kesempatan untuk mengikuti pendidikan lanjutan atau pelatihan. Dalam kaitan ini, kepala sekolah perlu mengalokasikan anggaran di bidang peningkatan kompetensi TIK guru. Peran lain dari kepala sekolah adalah melakukan pemantauan sejauh mana guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan TIK.

3. Peran Guru

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kompetensi TIK mereka adalah: 1) mengikuti diklat baik secara konvensional maupun online; 2) otodidak/belajar mandiri; 3) menghadiri seminar dan lokakarya; 4) membaca jurnal, buku, modul yang relevan dan menulis karya ilmiah; 5) penelitian tindakan kelas; dan 6) pertemuan kolegial/diskusi sesama guru (peer teaching).

4. Peran Organisasi Profesi Guru

Banyak organisasi yang berkiprah di bidang guru dan beberapa di antaranya adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI). Salah satu ciri organisasi profesi menurut Sudrajat (2013), adalah mewadahi dan mengawali pelaksanaan tugas-tugas profesional anggotanya melalui tridarma organisasi profesi (Rivalina, 2014). Organisasi profesi guru mewadahi kegiatan-kegiatan yang menunjang peningkatan kemampuan guru misalnya dengan mengadakan seminar, workshop, lomba, untuk guru dalam meningkatkan kompetensi guru dan TIK guru.

5. Peran Masyarakat (Peran Swasta/Dunia Swasta)

Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Dunia usaha dan organisasi sosial sangat dibutuhkan peranannya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Sekalipun masih sangat terbatas, beberapa dunia usaha telah berperan serta dalam menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh layanan pendidikan melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR). Bantuan dapat berupa pelatihan untuk meningkatkan kompetensi TIK guru, infrastruktur TIK, baik untuk sekolah, guru, maupun siswa.

Salah satu hal yang krusial dalam pembelajaran berbasis TIK adalah kehadiran Learning Management System (LMS), karena dia dapat diibaratkan sebagai staf pengelola yang mengatur agar penyelenggaraan pembelajaran berjalan lancar sesuai dengan tujuan dan kompetensi yang diinginkan (Suriansyah, 2017). Bagaimanapun baiknya komponen konten, apabila tidak dilakukan pengaturan yang baik maka pembelajaran barbasis TIK tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan bahkan ada yang menyebut dengan “if learning content is king, then infrastructure (LMS) is good”. Sedangkan learning content adalah materi pelajaran itu sendiri yang disajikan oleh guru dalam pembelajaran (isi materi harus dibuat oleh yang ahli meskipun dia tidak pintar TIK, menarik untuk dibaca dan mudah untuk dicerna), materi tersebut selanjutnya dibuat dalam versi elektronik (tugas pengembang content) sehingga bisa dimasukkan dalam LMS.

Pendidikan yang berkualitas menjadi syarat utama keberhasilan generasi dalam memainkan peranan penting dalam kehidupan dan perkembangannya. Perwujudan pendidikan yang berkualitas secara formal sangat tergantung pada pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas pula. Pengajaran berkualitas diciptakan oleh kemampuan guru dalam mengajar dan lingkungan yang mendukung guru untuk mengajar, termasuk peserta didik. TIK menjadi latar belakang pembelajaran saat ini dan menjadi lingkungan yang sangat mempengaruhi pembelajaran (Tekege, 2017). Pengembangan dan pemanfaatan TIK dalam belajar menuntut kemampuan guru dalam menguasainya. Dalam kondisi ini, guru harus mampu membelajarkan para peserta didik untuk belajar melalui implementasi teknologi pembelajaran. Para guru termasuk para pengembang kurikulum dan pengambil kebijakan penting lainnya dalm pendidikan, harus meningkatkan awareness terhadap teknologi informasi dan komunikasi dan teknologi pembelajaran untuk meningkatkan pengajaran yang berkualitas. Sejatinya, dengan pengajaran yang berkualitas, pemaknaan dan pencapaian tujuan pendidikan menjadi lebih realistis dan hidup.


Referensi

Batubara, D. S. (2018). Kompetensi teknologi informasi dan komunikasi guru sd/mi (potret, faktor-faktor, dan upaya meningkatkannya). Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, 3(1), 48–65.

Husain, C. (2014). Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran di SMA Muhammadiyah Tarakan. Jurnal Kebijakan Dan Pengembangan Pendidikan, 2(2).

Rivalina, R. (2014). Kompetensi teknologi informasi dan komunikasi guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Jurnal Teknodik, 165–176.

Suriansyah, A. (2017). Pengembangan pembelajaran berbasis tik (proses dan permasalahannya). Paradigma, 10(2).

Tekege, M. (2017). Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran SMA YPPGI Nabire. Jurnal FATEKSA: Jurnal Teknologi Dan Rekayasa, 2(1).

Pembelajaran yang Mendidik dan Tindakan Reflektif untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran



Pembelajaran yang Mendidik

Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan (Budiningsih, n.d.). Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pendidikan merupakan tanggung jawab profesional seorang guru melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik dan memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, institusi pendidikan sangat bertanggung jawab terhadap pembentukan lulusan yang berkualitas yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, keterampilan, sikap, moral dan religi dari setiap individu sebagai anggota masyarakat.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa untuk mencapai tujuan utuh pendidikan dibutuhkan sosok guru yang memiliki kompetensi profesional yang mampu menggelar pembelajaran yang mendidik dalam keseharian pelaksanaan layanan tugasnya. Pembelajaran yang mendidik adalah pembelajaran yang membuahkan bukan saja dasar-dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga sekaligus menumbuhkan karakter yang kuat serta penguasaan kecakapan hidup (soft skills), sehingga tampil sebagai manusia yang penuh kasih terhadap sesama (compassion) serta menjunjung tinggi etika di samping tangkas dalam bekerja (Joni dalam Budiningsih, n.d.).

Kajian tentang pembelajaran yang mendidik diawali dengan mengidentifikasi sub-sub kompetensi yang terkandung dalam empat kompetensi guru sebagaimana tertuang di dalam UU Momor 14 Tahun 2005 meliputi:

1. Kompetensi pedagogik, dimaknai sebagai kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman pada peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan potensi peserta didik.

2. Kompetensi kepribadian, dimaknai sebagai kemampuan kepribadian. Kompetensi kepribadian ini dirinci meliputi kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia, dan dapat menjadi teladan.

3. Kompetensi sosial, bertolak dari asumsi bahwa pendidik adalah bagian dari masyarakat, sehingga layak dituntut memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

4. Kompetensi profesional, sebagai regulasi yang membingkai kebijakan sertifikasi guru ditampilkan setara dengan ketiga kompetensi lainnya, yaitu kompetensi profesional yang dimaknai sebagai kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya untuk membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. 


Tindakan Reflektif

Perkembangan dunia pendidikan sekarang ini berjalan begitu cepat. Sejalan dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, perkembangan tersebut perlu diimbangi kemampuan pelaku utama pendidikan, terutama guru. Kemampuan profesional dan keterampilan perlu ditingkatkan, yakni dengan membangun kompetensi guru yang efektif dan reflektif. Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tetang Pendidikan Nasional menyebutkan jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu, profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan karena saat ini dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional, maupun internasional (Zulfa, 2017).

Sebagai tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar sendiri maupun melalui program pembinaan dan pengembangan yang pemerintah atau dilembagakan masyarakat. Pembinaan merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, pelatihan, dan pendidikan. Pembinaan guru dilakukan dalam kerangka pembinaan profesi dan karier. Pembinaan profesi guru meliputi pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (Zulfa, 2017). Kompetensi pedagogik ini terdiri atas 10 kompetensi inti. Masing masing kompetensi inti diturunkan kembali menjadi beberapa kompetensi yang lebih teknis. Salah satu kompetensi dalam kompetensi pedagogik adalah melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Tindakan reflektif adalah tindakan pemberian umpan balik kepada siswa tentang materi dan proses pembelajaran yang telah dilakukan. Tindakan reflektif dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Selain untuk mengetahui kemampuan siswa, kegiatan reflektif dilakukan juga untuk mengevaluasi kinerja guru, menganalisis kesulitan belajar siswa, dan memperbaiki proses pembelajaran. Dengan adanya tindakan reflektif, guru akan mengetahui kekurangan-kekurangannya dalam pembelajaran dan mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Zulfa, 2017). Jadi, kompetensi ini mencakup refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan, pemanfaatan hasil refleksi untuk perbaikan dan pengembangan mata pelajaran, dan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Windiyani dkk, 2020).

Selain kompetensi pedagogik, kompetensi lain yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi profesional. Ada lima kompetensi inti dalam kompetensi profesional, yaitu (Windiyani dkk, 2020):

1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu;

2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu;

3. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif;

4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan

5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.

Kompetensi ke-4 terbagi lagi menjadi empat komptensi guru, yakni melakukan refleksi terhadap kinerja sendiri secara terus-menerus, memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka peningkatan keprofesionalan, melakukan penelitian tindakan kelas untuk peningkatan keprofesionalan, dan mengikuti kemajuan zaman dengan belajar dari berbagai sumber.

Menurut Diknas (2008) kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran meliputi pra pembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber, evaluasi, penggunaan bahasa), dan menutup (refleksi, rangkuman dan tindak lanjut) (Elvianasti, 2020). Dalam Undang-Undang 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Pasal 10 disebutkan "Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi." Keempat pilar itu terintegrasi menjadi kinerja guru. Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam menguasai pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan sebagaimana tuntutan standar kompetensi yang dipersyaratkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja guru, kompetensi guru, dan tugas pokok guru memiliki keterkaitan erat satu sama lainnya. Kinerja guru direfleksikan melalui kompetensi guru yang diimplementasikan dalam tugas pokoknya. 


Referensi:

Budiningsih, C. A. (n.d.). Pembelajaran Yang Mendidik - pdf free download. adoc.pub. https://adoc.pub/pembelajaran-yang-mendidik.html 

Elivianasti, M. (2020). Modul Profesi Pendidikan. Jakarta: Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

Windiyani, Tustiyana. Dadang K., dan Ratih P. (2020). Profesi Kependidikan: Kajian Konsep, Aturan dan Fakta Keguruan. Bogor: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pakuan.

Zulfa, L. A. (2017). Problematika dalam melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran bahasa indonesia. Eduscope: Jurnal Pendidikan, Pembelajaran, Dan Teknologi, 2(2), 120–129.